Kamis, 12 Maret 2009

Artis Sinetron Mungkin Dibunuh Pacarnya

PESINETRON sekaligus pemilik modelling agency Hanny Collections, Hanny A Wahab (53), dibunuh di rumahnya di Cengkareng, Jakarta Barat. Tubuh ibunda Elis dalam sinetron Wulan ini ditemukan dalam kondisi tanpa sehelai pun pakaian. Jenazah Hanny ditemukan di kamarnya oleh anak keduanya, Ahmad Sutrisno atau Aat (17) pada Rabu (11/3/2009) pagi. Aat yang sudah siap berangkat sekolah heran karena belum berjumpa dengan ibunya. Padahal, Hanny biasa membangunkan Aat sekitar pukul 05.00.Aat mendekati pintu kamar Hanny dan membukanya. Remaja ini terkejut mendapati sang ibu terbujur kaku di balik bed cover. Hanny yang terluka di kepalanya, terkapar di tempat tidur tanpa pakaian.Aat berteriak minta tolong sehingga warga berdatangan ke rumah Hanny yang terletak di Blok B5 No 24/25, Perumahan Interkota Indah, Durikosambi, Cengkareng. Beberapa saat ke­mudian, petugas Polsektro Cengkareng dan Polrestro Jakarta Barat tiba di lokasi kejadian.Berbagai dugaan di balik tewasnya Hanny muncul dari kawan-kawan dan kerabat mendiang. Ada yang menduga Hanny diperkosa lalu dihabisi. Ada juga yang menduga Hanny dibunuh oleh pesaingnya di bisnis modeling. Bahkan, ada pula yang menduga Hanny tewas oleh pacarnya ataupun mantan pembantunya.Menurut petugas Polsektro Cengkareng, mengutip pengakuan Aat, pada Selasa (10/3) se­kitar pukul 22.00, Hanny menerima tamu yang terdiri atas tiga lelaki. Aat sempat menyalami para pria yang baru malam itu ia temui. Dia kemudian masuk kamar dan tidur.Sementara itu, Akbar (10) —adik Aat—, tidur sendirian di salah satu kamar. Biasanya, Akbar tidur di kamar ibunya. Namun, karena malam itu Hanny masih menerima tamu, Akbar pun tidur sendiri.Menurut Ana, tetangga Hanny, ketiga pria tersebut datang dengan mobil Suzuki APV. Menjelang tengah malam, hanya dua pria yang keluar dari rumah Hanny dan pergi dengan mobil tersebut. ”Mereka datang naik APV warna silver. Yang dua pulang duluan,” katanya saat ditemui Warta Kota di dekat rumah Hanny, kemarin siang. Penelusuran Warta Kota, ketiga tamu Hanny pada malam itu adalah para pegawai modelling agency Prima School. Mereka datang untuk membahas lomba modeling pada 29 Maret 2009 yang diadakan di Hotel Sentral, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Kegiatan ini diselenggarakan Prima School bekerja sama dengan Hanny Collections.Gois, pimpinan Prima School, membenarkan bahwa tiga stafnya menemui Hanny pada Se­lasa malam. ”Pertemuan itu dilakukan guna membahas persiapan terakhir,” katanya. Gois mengatakan, tidak mungkin ketiga orang itu pelaku pembunuhan Hanny. Gois juga mengaku pada Rabu pagi, ketiga orang tersebut berkomunikasi dengannya melalui telepon. ”Kami kaget mendengar kabar kematian Hanny. Kami dikabari oleh rekan Hanny yang tinggal di Jambi,” katanya. Hanny merupakan pebisnis sekaligus orangtua tunggal. Akbar dan Aat merupakan anak Hanny dari perkawinan kali kedua. Dari perkawinan pertama, Hanny memiliki seorang anak yang kini telah berumah tangga dan tinggal terpisah dari Hanny. Dua perkawinan Hanny berakhir dengan perceraian.TusukMenurut seorang polisi, Hanny diduga tewas akibat luka tusuk di leher dan kepala bagian belakang. Untuk mengetahui penyebab kematian Hanny, polisi mengirim jenazah pesinetron tersebut ke RSCM guna keperluan otopsi. Polisi menemukan kamar Hanny dalam kondisi berantakan. Namun, diduga tak ada barang berharga yang hilang. Perhiasan, uang, alat-alat elektronik, dan sejumlah barang berharga lainnya masih ada di tempatnya. Hanya telepon genggam milik Hanny yang tak ditemukan.Sementara itu, sampai berita ini diturunkan, Polsektro Cengkareng belum memberi keterangan resmi menangani kasus ini. Kapolsektro Cengkareng AKP K Ritonga tidak bisa ditemui ataupun dihubungi. (tos/warta kota)
Sumber : www.pos-kupang.com

Selasa, 10 Maret 2009

Nelayan Lembata Belum Punya Alat Tangkap

JUMLAH RTP di Kabupaten Lembata sebanyak 2.291 RTP, tak sebanding dengan kepemilikan sarana penangkapan ikan. Dari 2.291 RTP, hanya 26,14 persen atau 615 RTP yasng memiliki sarana tangkap ikan bermotor. Berarti masih sebanyak 1.676 atau 73,16 persen belum memiliki sarana penangkapan ikan.Kepala Dinas (Kadis) Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata, Paulus Kedang, S.Pi, M.Si, mengungkapkan hal ini saat penyerahan paket bantuan bergulir sarana penangkapan ikan tahun 2008, Rabu (3/3/2009), di Lopo Moting Lomblen. Penyerahan dilakukan Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, dihadiri Wabup, Drs. Andreas Nula Liliweri, Sekab Lembata, Drs. Petrus Atawolo, M.Si, kelompok penerima bantuan dan undangan.Paulus menjelaskan, jumlah 2.291 RTP hanya didukung sarana penangkapan ikan sampan/jukun 1.569 unit, motor tempel 418 unit, kapal motor kapasitas kurang dari 5 GT 169 unit, kapal motor kapasitas lebih dari 5 GT 28 unit dan empat unit bagan. Sedangkan jumlah alat tangkap berupa handline 1.365 unit, gill net 536 unit, purse seiner 31 unit dan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon 42 unit. Dengan jumlah sarana penangkapan ini, kata Paulus, nelayan Lembata baru mampu memproduksi hasil tangkapan 2.448,21 ton ikan/tahun, atau 23,12 persen dari potensi lestari penangkapan ikan 10.587,5 ton/tahun. Meski terdapat berbagai hambatan, Dinas Perikanan dan Kelautan Lembata akan berupaya meningkatkan produksi tangkapan ikan dari 2.448,21 ton/tahun menjadi 2.769,22 ton/tahun atau naik 13,11 persen pada tahun 2010.Selain keterbatasan sarana dan alat tangkap, demikian Paulus, keterbatasan sumber daya manusia PNS perikanan ikut menghambat pertumbuhan produksi perikanan. Dari 31 pegawai, hanya 15 staf punya spesifikasi teknis perikanan. Ada seksi yang belum terisi, bahkan belum memiliki staf sehingga berdampak pada pelaksanaan tugas pembinaan, pendampingan, pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.Dikatakannya, enam unit purse seiner 16 GT diberikan kepada kelompok nelayan Ujung Pasir, di Desa Balauring, kelompok Imanuel di Lewoleba Tengah, kelompok Napoleon di Desa Dua Wutun, kelompok Tite Ta di Lamalera B, kelompok Asmara Luma Lumba-Lumba di Tapolangu, dan kelompok nelayan Liat Aman di Kelurahan Lewoleba Tengah. Sedangkan empat unit sarana penangkapan ikan gillnet 5 GT didistribusikan kepada kelompok nelayan Leur Lewang di Buriwutung, Mapa Lolon di Desa Atakore, Seguni di Lamalera A dan kelompok Sabar di Desa Balauring.Ia menambahkan,72, 59 persen wilayah Lembata merupakan wilayah laut memiliki sumber daya kelautan dan perikanan yang potensial seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, layang, kakap, kerapu dan lobster, berbagai jenis teripang, kerang dan rumput laut.Bupati Lembata, Drs.Andreas Duli Manuk, minta kelompok nelayan penerima bantuan mengoptimalkan sarana penangkapan untuk kepentingan kelompok dan memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. "Harga ikan dibeli masyarakat untuk kebutuhan lebih terjangkau, lebih murah dibanding sebelum ada peralatan tangkap," harap Andreas.Semakin banyak nelayan Lembata memiliki peralatan tangkap akan membantu pemerintah melindungi wilayah perairan dari usaha pemboman ikan yang merusak biota laut dan nelayan ilegal mencuri ikan. Ia mengimbau kepala desa dan camat mengawasi bantuan supaya dioptimalkan bagi kepentingan kelompok nelayan yang kelak bisa memberi kontribusi kepada pemerintah.

Jumat, 06 Maret 2009

Lamalera, Ikan Paus dan Konservasi Kehidupan

Oleh Charles Beraf
Wartawan, dosen pada Uniflor Ende dan Breung Alep Penerbit Lamalera - Jakarta
MENURUT rencana, laut sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT) akan dideklarasikan sebagai kawasan konservasi nasional untuk melindungi mamalia laut khususnya ikan paus yang dianggap terancam punah. Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Agus Dermawan, di Bogor, mengatakan, rencana deklarasi Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional akan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan "World Ocean Confrence and Coral Triangle Initiative Summit" di Manado, Sulawesi Utara, Mei mendatang. Rencana ini, menurut Dermawan, didukung Pemerintah NTT (AntaraNews, 12/2/2009).Rencana besar ini di satu sisi bisa dilihat sebagai suatu sikap proaktif pemerintah terhadap kampanye global tentang perlindungan terhadap satwa langka. Ikan paus yang oleh banyak pihak dikategorikan sebagai satwa langka patut mendapat perlindungan, yakni dengan mengkoservasi kawasan lalu lintas yang dilalui ikan paus, seperti laut sawu di NTT. Namun di sisi lain jika rencana besar ini terealisasi maka berdampak destruktif terhadap kehidupan masyarakat yang selama ini tidak bisa tidak menggantungkan hidupnya dari Laut Sawu. Dalam konteks Lamalera - desa penangkap (bukan pemburu) ikan paus di NTT, rencana besar itu tampaknya mesti dicermati lebih jauh. Penangkapan ikan paus yang telah dilakonkan masyarakat adat Lamalera di NTT bukan sekadar suatu aktivitas konsumtif, melainkan lebih dari itu telah menjadi suatu aktivitas kultural, sosial dan religius masyarakat Lamalera- suatu hal yang jarang dijumpai di belahan dunia mana pun. Dimensi spasial inilah yang mesti ditelaah, selain demi memahami mengapa masyarakat Lamalera tetap (bersikukuh) memilih dan menghidupi cara ini, juga demi menentukan cara yang ramah dalam rangka konservasi. Lamalera dan pausMasyarakat Lamalera terdiri dari beberapa komunitas kekerabatan yang disebut suku atau marga. Secara historis, masyarakat Lamalera sesungguhnya bukan penduduk asli Pulau Lembata. Kelompok eksodus pertama datang dari Kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan ketika terjadi penaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi (seperti Kerajaan Bone, Luwuk dan Sopeng) oleh Kerajaan Majapahit semasa Pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Eksodus ini diawali dengan mengikuti armada perang Patih Gajah Mada. Dalam eksodus ini, mereka menyinggahi beberapa daerah, antara lain Pulau Seram, Gorom, Ambon dan kemudian tiba dan menetap di Keroko Tafa Teria Gere atau Pulau Lepanbatan. Namun beberapa waktu kemudian eksodus terjadi lagi ketika Pulau Lepanbatan diterjang bencana. Mereka menyeberang ke Pulau Lembata dengan perahu yang bernama kebakopukâ dan menyinggahi beberapa tempat, antara lain Tanjung Gelu Gala, Fai Teba, Tanjung Atadei, Levo Bala dan akhirnya menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela (sekarang bernama Wulandoni). Selama berada di tempat ini, mereka menjalani kegiatan lefa (melaut) di sekitar parairan Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Namun, kerapkali mereka terbawa arus ke barat - di wilayah yang sekarang disebut Lamalera. Di wilayah ini mereka menemukan bahwa ada tempat yang cocok untuk melabuhkan dan mengamankan perahu (kné) dan ada sumber air yang bisa dikonsumsi (vai meting). Penemuan ini turut mendorong mereka untuk berpindah dari Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela ke Lamalera. Kelompok eksodus ini terdiri dari tiga marga/suku, yakni Levo hajjo (Blikololong), Lamanudek dan Tanahkrova. Tiga marga ini disebut sebagai lika telo (tiga tungku). Levo Hajjo melahirkan suku Blikololong, Bataona dan Levo Tuká. Suku Bataona melahirkan tiga suku, yakni Bediona, Batafor dan Sulaona. Inilah kelompok eksodus yang pertama mendiami Lamalera. Setelah beberapa waktu menyusullah suku/marga lain dari beberapa daerah di Timor, Flores, Solor dan berdiam bersama di Lamalera. Beberapa marga atau suku itu antara lain, Lamakera, Tapooná, Lamanifak, Atakei, Oleoná, Lefolei, Ebaoná, Lelaoná dan Atafollo. Kebersamaan yang cukup lama telah menyatukan mereka dalam adat, tradisi yang sama, termasuk di dalamnya tradisi penangkapan ikan Paus atau dalam bahasa setempat disebut tena laja (perahu layar).Meski demikian, bila dirunut secara historis, tradisi tena laja bukan muncul setelah suku-suku ini berada dan berdiam di Lamalera, tetapi dibawa bersamaan dengan eksodus mereka dari Luwuk - Sulawesi, yakni sekitar abad ke-14. Syair Lia asa usu Lamalera bisa menggambarkan hal ini: "Seba olak lau lêfa harri lollo dai épitká, dai marangká apé tafa géré raé motti Lango Fujjo raé morri Nara Gua Tana. Feffa bélàkà Bapa Raja Hayam Wuruk pasa-pasa pekkà lefuk lau Luwuk (Kucari nafkah di tengah laut kembali ke pantai merapat ke pinggir, tampak nyala api di tempat Lango Fujjo - nama lain dari Lamalera, di sana, di Gubuk Nara Gua Tana. Dan demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) (Bdk. Gorys Keraf, Morfologi Dialek Lamalera (ms, 1978) pp.229-230).Kuatnya interaksi dan kohesi sosial antarsuku Lamalera dari waktu ke waktu turut pula memperkukuh tradisi tena laja. Begitu pula sebaliknya dari tena laja mereka hidup, bergantung dan membangun jejaring hidup dengan yang lain, membina relasi intersubyektif dengan siapa saja. Dalam hal pembagian hasil tangkapan misalnya, siapa pun di kampung itu, terutama para janda dan yatim piatu, meski tidak ikut melaut, tetap diberi jatah (gratis) sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan. Lebih dari itu, ketika agama modern masuk (Katolik Roma) ke Lamalera pada tahun 1881, tradisi ini sama sekali tidak dihilangkan, tetapi justru semakin diberi makna, bobot religius yang tinggi - suatu hal yang sudah semakin sering diabaikan, terutama oleh mereka yang mengaku diri sebagai agamawan. Sebelum, selama dan sesudah kegiatan penangkapan ikan paus selalu diadakan kebaktian secara Katolik (misa lefa/laut), doa dan pemberkatan dari pastor (pendeta Katolik) untuk memohon restu dan perlindungan dari Ama Lera Wulan Tana Ekan (sebutan untuk Allah). Sampai di sini jelas bahwa tradisi tena laja tidak hanya sekadar merepresentasikan, tapi juga mengabadikan (mempertahankan) korps, keberadaan orang-orang Lamalera sebagai tubuh yang hidup. Hidup dengan pengertian, makna, filosofi, hasrat dan persepsi kultural tertentu diwujudkan dengan menghidupkan tradisi ini. Melalui penghidupan ini, orang-orang Lamalera dimungkinkan untuk menemukan dan mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas sosial atau kultural tertentu; indentitas sosial telah banyak berurusan dengan bagaimana suatu masyarakat memahami karya yang diolahnya sendiri dan karya orang lain. Dengan kata lain, upaya penghidupan ini tidak lain adalah cara vital orang-orang Lamalera dalam melanggengkan pengertian, makna, hasrat dan filosofi yang sudah dianutnya. Menyikapi ancaman kepunahan Suku-suku di Lamalera adalah satu-satunya etnis di Indonesia, yang sampai sekarang masih menangkap ikan paus secara adat dengan peralatan tradisional. Paus yang ditangkap adalah jenis sperm whale (physeter macrocephalus) atau paus berkepala besar. Jenis ini bergigi terbesar dan berbobot antara 25 sampai dengan 50 ton perekor. Masyarakat Lamalera pantang menangkap paus tak bergigi (seperti tebang pilih di hutan), terutama jenis paus biru, yang bobotnya bisa sampai 120 ton. Menurut data terakhir dari the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, habitat paus kepala besar merata di seluruh dunia, mulai dari kawasan kutub, sampai ke laut tropis, termasuk di laut Sawu (tidak hanya di Lamalera). Populasi jenis paus ini masih sangat besar, berkisar antara 200.000 sampai dengan dua juta ekor. Sementara jenis paus lain, seperti atlantic northern right whale dan pacific northern right whale populasinya tinggal ratusan ekor (Bdk. F. Rahardi, "Menyadap Energi Lamalera" dalam Maria Andriana C.s, Merayakan Cinta (Jakarta: Penerbit Lamalera, 2008), p. 79).Jelas di sini bahwa masalah ancaman kepunahan saat ini bukan terutama disebabkan oleh aktivitas penangkapan secara tradisional. Meski tidak menjadi sasaran penangkapan orang- orang Lamalera, atlantic northern right whale dan pacific northern right whale terancam punah. Sebaliknya, bisa diduga, seperti satwa besar lain di darat, kepunahan bisa terjadi secara natural atau juga karena alam lingkungan yang tak layak huni (misalnya sudah teracuni oleh unsur-unsur kimiawi tertentu). Hemat saya, perlu dipikirkan (ulang) secara lebih matang upaya konservasi Laut Sawu di NTT seperti misalnya mengalihkan atau mengurangi aktivitas penangkapan yang dilakukan orang-orang Lamalera guna membendung kepunahan yang terjadi. Demi kelanggengan tradisi yang amat langka dan berharga itu serta kelanggengan kehidupan di Lamalera, bisa ditempuh juga cara-cara alternatif lain guna menjadikan habitat paus sebagai habitat yang aman, seperti pengendalian atau pengalihan limbah industri, larangan penggunaan alat-alat modern dalam penangkapan, dan sebagainya. Singkat kata, kita tidak bisa menggunakan alasan kehidupan dengan cara menghabiskan (secara perlahan sekalipun) kehidupan orang-orang lain, termasuk tradisi hidup yang sudah sangat mengakar itu. *

Kasus Illegal Logging di Lembata: PT Kupang Batalkan Putusan PN Lewoleba

Laporan Yosep Sudarso/Paul Burin
KUPANG, PK -- Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba tanggal 10 Desember 2008 nomor : 55/PID.B/2008/PN. Dalam putusannya, PN Lewoleba menyatakan terdakwa, Gregorius Molan, Cs bersalah dan karena itu dijatuhi hukuman penjara yang bervariasi dan denda masing-masing Rp 100 juta. Namun, majelis hakim PT Kupang membatalkan putusan tersebut dan membebaskan para terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum.Petikan putusan majelis hakim PT Kupang ini diperoleh Pos Kupang dari penasehat hukum para terdakwa, Petrus Bala Pattyona, S.H, M.Hum, dan Paulus Kopong, S.H, beberapa waktu lalu. Ketua majelis hakim perkara ini, Jasinta Daniel, S.H, membenarkan hal ini."Benar bahwa kami sudah putus bebas para terdakwa kasus illegal logging di Lembata. Tetapi saya minta maaf karena tidak punya kapasitas menjelaskan pertimbangan hukumnya. Kode etik kami melarang hakim untuk membuat pernyataan di luar sidang. Saya hanya bisa katakan, upaya banding perkara itu sudah kami sidangkan dan hasilnya seperti petikan yang Pos Kupang terima dari penasehat hukum para terdakwa," ujar hakim asal Nita, Sikka, ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (6/3/2009).Dalam petikan putusan bernomor 24/PID/2009/PTK, diketahui, majelis hakim terdiri dari Jasinta Daniel, S.H selaku ketua, dan hakim anggota, YB Gunadi, S.H, dan I Gede Yasa, S. H. Sidang ini dilangsungkan di PT Kupang, 25 Februari 2009 lalu. Dalam sidang ini, majelis hakim menyatakan, telah memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan terdakwa, yakni tiga warga Desa Puor, Kecamatan Wulandoni, masing- masing Lodofikus Tana Leban alias Fikus, Lorensius Kia Liman alias Lorens, Mateus Boli Leban alias Teus, dan Gregorius Molan alias Goris, dari Desa Belobatan, Kecamatan Nubatukan.Majelis hakim dalam amar putusannya yang dibacakan tanggal 25 Februari 2009 lalu menyatakan delapan hal. Kedelapan putusan tersebut, yakni menerima permintaan banding dari para terdakwa, membatalkan putusan PN Lembata tanggal 10 Desember 2008 Nomor : 55/PID.B/2008/PN, menyatakan para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum, membebaskan para terdakwa, memerintahkan supaya para terdakwa dikeluarkan dari tahanan, memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya, memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada para terdakwa, dan membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada negara.Barang bukti yang harus dikembalikan kepada para terdakwa, antara lain satu unit mesin chainsaw merek STHIL kepada Laurens Kia Liman. Sedangkan kepada terdakwa, Gregorius Molan, satu unit chainsaw merek STHIL 070 jenis kodok berwarna orange, 254 batang balok ukuran 6 X 12 dengan panjang empat meter, 14 batang balok ukuran 5 X 10 dengan panjang empat meter, 21 batang balok ukuran 5 X 10 dengan panjang empat meter dan 37 batang balok dengan ukuran 6 X 12 empat meter. Para terdakwa dihukum dengan putusan PN Lewoleba Nomor 55/PID.B/2008/PN LBT, tanggal 10 Desember 2008. Mereka adalah Gregorius Molan dipidana penjara 1,9 bulan, denda Rp 100 juta, Lodofikus Tana Leban dan Laurensius Kia Liman dipidana penjara masing-masing 1,6 bulan denda Rp 100 juta, dan Matheus Boli Leban dipidana penjara 1,3 bulan dengan denda Rp 100 juta.Selain itu barang bukti berupa 326 batang balok, 11 lembar papan dan dua unit chainsaw dirampas untuk negara. Para hakim yang mengadili perkara ini, yakni Karlen Parhusip, S.H, (hakim ketua) dibantu LM Sandi Iramaya, S.H, dan Dedy Haryanto, S.H. Pengacara Petrus Bala Pattyona, S.H, M.Hum, ketika dimintai komentarnya per telepon, Jumat (6/3/2009), mengatakan, sesuai pasal 243 KUHAP, maka jaksa tak punya hak untuk melakukan kasasi. Pattyona mengatakan, putusan PT NTT sudah tepat karena menebang pohon di kebun sendiri tak dapat dikatakan illegal logging sebagaimana dituduhkan kepada kliennya itu. Ia menilai, satu-satunya kasus di Indonesia bahkan dunia terjadi di Lembata. Di mana warga menebang pohon di kebun sendiri dihukum seberat- beratnya. (dar/pol)

Rabu, 04 Maret 2009

Gubernur NTT Lolos dari Maut


Jumat, 6 Februari 2009 12:52 WIB
LARANTUKA, JUMAT — Sebuah perahu motor yang ditumpangi Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan rombongan, lolos dari hantaman gelombang besar dan angin kencang. Insiden itu terjadi ketika rombongan Gubernur hendak berlayar menuju Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, di ujung timur Pulau Flores, Jumat. Perahu motor "Tri Sakti" tersebut mengangkut rombongan Gubernur NTT, termasuk di antaranya Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Laga Doni Herin, dari Pelabuhan Terong di Pulau Adonara sekitar pukul 10.15 Wita. Ketika memasuki wilayah perairan di sekitar Tanjung Gemuk, amukan gelombang dan angin kencang mulai menyerang badan kapal yang disertai pula dengan hujan lebat. Wartawan ANTARA Lorensius Molan yang ikut serta dalam rombongan tersebut melukiskan, wilayah sekitarnya tampak gelap karena tertutup hujan lebat dan yang tampak hanyalah gulungan gelombang besar sambil melepaskan buih putih di wilayah perairan sekitarnya. Perahu motor yang dikemudikan Muslimim, terus melaju dengan kecepatan yang stabil di tengah hantaman gelombang yang mencemaskan rombongan Gubernur NTT pada saat itu. Muslimin tampak cukup lihai mengendalikan kemudi kapal sehingga dengan lincah pula melakukan manuver di tengah gelombang besar. "Perahu motor ini biasa kami gunakan untuk melakukan kunjungan kerja ke pulau-pulau sehingga saya tidak terlalu khawatir. Nakhoda kapalnya hebat jika dihantam gelombang besar," kata Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Laga Doni Herin, ketika membisiki ANTARA soal gelombang laut tersebut. "Kami di sini cemas sekali karena melihat keadaan gelombang laut yang tidak bersahabat," komentar Kasubag Humas dan Protokol Pemkab Flores Timur, Rien Riberu ketika rombongan Gubernur NTT tiba di rumah jabatan Bupati Flores Timur di jantung kota Larantuka. "Ada anggota rombongan yang sport jantung dalam pelayaran tersebut. Tapi, kami semua akhirnya tiba dengan selamat di Larantuka," kata Gubernur Lebu Raya ketika bertatap muka dengan Pemkab Flores Timur yang dipandu Bupati Simon Hayon. Selama sekitar dua jam, perahu motor "Tri Sakti" yang ditumpangi Gubernur NTT dan rombongan berada dalam kepungan dan hantaman gelombang besar dan angin kencang serta hujan lebat sampai tiba di Pelabuhan Larantuka sekitar pukul 12.15 Wita.
Sumber : Antara

Para Jompo Bisa Memotivasi Gubernur



KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Uskup (emeritus) Atambua Mgr Anton Pain Ratu SVD bersalaman dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Pain Ratu memberi peneguhan kepada Lebu Raya agar tetap berpijak pada kebenaran dalam membangun daerah itu. Masyarakat NTT mengharapkan adanya perubahan dalam 5 tahun masa kepemimpinan Lebu Raya.
/

Kamis, 5 Maret 2009 09:21 WIB
MAUMERE, KAMIS — Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya menyatakan sangat termotivasi oleh para jompo yang masih tetap bersemangat meski sudah memasuki usia senja. "Saya sangat kagum karena suara opa oma masih tetap lantang ketika menyanyikan mars 'Lanjut Usia' dan masih menari dengan baik ketika menyambut saya bersama rombongan," katanya. Gubernur Lebu Raya mengungkapkan perasaannya tersebut ketika bertemu dengan para jompo di Panti Paduwae Waipare Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Kamis (5/4). Ketika berkunjung ke panti tersebut, Gubernur Lebu Raya didampingi Ny Lucia Adinda Lebu Raya, Ketua DPRD NTT Melkianus Adoe, Wakil Ketua DPRD NTT Kristo Blasin, Bupati Sikka Sosimus Mitang, dan Wakil Bupati Sikka Wera Damianus. Panti berkapasitas 80 orang yang didirikan Departemen Sosial pada tahun 1984 itu sudah menampung sekitar 72 orang lanjut usia yang berasal dari sembilan kabupaten di NTT. Gubernur Lebu Raya mengatakan, pesan yang disampaikan opa oma lewat lagu dan tarian tersebut membangkitkan semangat para pemimpin di NTT untuk lebih bersemangat berkarya dalam membangun daerah ini demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah seorang penghuni panti, Paulina Mada (80), mengatakan, kehidupan mereka di panti cukup baik, tetapi panti ini tidak memiliki ambulans sehingga membuat mereka cemas jika kelak meninggal dunia di panti tersebut. "Ada teman kami yang telah meninggal, tetapi kesulitan saat diantar kepada keluarganya karena tidak ada mobil. Karena itu, kami harapkan ada ambulans untuk panti ini," katanya.

Seorang Lagi Terindikasi Idap HIV di Lembata


LEWOLEBA, KAMIS - Pemeriksaan darah tahap pertama dan tanda-tanda klinis yang diderita, seorang ayah dengan dua orang anak asal Kabupaten Lembata terindikasi positif mengidap HIV. Temuan penderita baru ini menambahkan deretan jumlah penderita HIV/AIDS asal Lembata menjadi 34 penderita dari jumlah diakhir bulan Oktober 2008 sebanyak 33 penderita."Pengidap sedang kami rawat dan segera dilakukan pemeriksaan darah tahap kedua secara menyeluruh sebelum korban dirujuk ke RSUD TC Hillers Maumere yang memiliki klinik VCT," kata Conselor profesional HIV/AIDS RSUD Lembata, dr.Bernad Yosep Beda, ketika dikonformasi Pos Kupang, di Lewoleba, Rabu (5/11).Keterangan lain yang diperoleh Pos Kupang menyebutkan pengidap HIV ini adalah warga Balauring, Kecamatan Omesuri, dirujuk pihak Puskesmas Balauring ke RSUD Lewoleba pada hari Senin (4/11/2008).Mereka menemukan penderita mengalami sakit malaria dan batuk berat. Pihak Puskesmas yang tak memiliki sumber daya yang cukup lalu merujuknya ke RSUD guna menjalani perawatan intensif.Sementara Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Lembata, Drs.Andreas Nula Liliweri, Selasa siang (4/11/2008) sebelum menemui dokter Bernad mengaku belum menerima laporan temuan pengidap HIV baru itu. "Saya mau ke RSU tapi saya belum terima laporan itu," kata Liliweri di Kantor Bupati Lembata.Bernad menambahkan, pemeriksaan darah tahap pertama dilakukan hari Senin ditemukan penderita positif terjangkit HIV. Namun untuk menegakkan standar pemeriksaan harus dijalani pemeriksan darah tahap kedua sampai ketiga dan pemeriksan fisik menyeluruh sambil mengikuti perkembangan gejalah klinis penderita."Kekurangan kita melakukan pemeriksaan CD4 atau pemeriksaan HIV pertama dalam tubuh," kata Bernad. Dikatakannya, berdasarkan ciri-ciri klinis, penderita tersebut memasuki stadium dua. Hal ini tampak pada berat badan penderita yang terus menurun, terdapat candidiasis oral atau jamur dalam mulut, penyakit paru-paru (TBC), kelainan pada kulit (alergi) dan hemoglobin (HB) yang mencapai delapan.Latar belakang penderita, kata Bernad, pernah merantau ke Malaysia sekitar lima sampai enam tahun, dan tiga sampai empat tahun di Singapura. Dugaan kuat penyakit ini terjangkit ketika penderita berada di dua daerah perantauan itu. Masa inkubasi virus ini dalam tubuh cukup lama lima hingga sepuluh tahun dan setelah 10 tahun barulah mulai kelihatan ciri-ciri penderitanya.Mengenai kemungkinan terjangkitnya virus yang akan berkembang menjadi AIDS kepada istri dan kedua anaknya, Bernad mengatakan kemungkinan itu bisa terjadi. Karena itu perlu dilakukan konseling untuk dilakukan pemeriksaan dini.Ia menambahkan, meski pemeriksaan darah tahap pertama telah menemukan indikasi positif HIV, penderita tetap menjalani pemeriksaan darah menyeluruh dan fungsi hati. Setelah hasil pemeriksaan ini bisa diketahui kondisi keseluruhan penderita dan akan dirujuk ke RSUD TC Hillers Maumere yang memilik klinik VCT.Terus bertambahnya angka penderita HIV, Bernad menyarankan pemerintah daerah segera menyiapkan fasilitas VCT. "Daripada setiap kali ditemukan penderita, kita merujuk ke RS yang punya VCT di Maumere atau Kupang. Syukur kalau diterima tapi ditolak kita harus merawat dengan fasilitas kita yang terbatas," ujar Bernad.Temuan penderita HIV dan AIDS di Lembata, kata Bernad seperti fenomena gunung es. Para penderita yang ditemukan setelah mengalami sakit berat dan berobat ke rumah sakit setempat. Tetapi kemungkinan ada segelintir orang lain yang potensial telah terinfeksi, namun tak mengetahui kalau ada virus mematikan itu dalam tubunya."Penderita yang diketahui terserang HIV/AIDS karena sakitnya sudah parah. Yang masuk RS sudah stadium dua bahkan ada yang sudah parah dan langsung diinfus," tandas Bernad.Ia menyarankan KPAD Lembata melakukan sosialiasi gencar kepada warganya bahaya penyakit HIV/AIDS. Jangan menunggu ada uang baru dilakukan sosialiasi sementara kemungkinan penyakit itu telah berjangkit kepada orang lain.Kabag Humas Setda Lembata, Drs.Ambros Lein, mengatakan walau 99 persen penderita HIV/AIDS merupakan mantan perantauan namun tidak dimaksudkan memvonis perantau asal Lembata menjadi sumber penularan penyakit itu.Ia menyarankan para perantau yang bekerja di Malaysia, Singapura maupun di dalam negeri agar lebih berhati-hati bergaul. Ia menyarankan warga Lembata yang kemungkinan potensial terjangkit virus dapat memeriksakan darah..Berdasarkan data KPAD, penderita HIV/AIDS Lembata cenderung bertambah setiap tahun. Pada 2003 ditemukan tiga penderita dan semuanya telah meninggal dunia, namun dalam kurun waktu enam tahun jumlah penderita menjadi 34 orang meliputi 23 pria dan 11 perempuan, 25 di sudah meninggal dunia dan sembilan penderita masih hidup. (ius)